Thursday, June 14, 2007

EKONOMI (PEMBANGUNAN) YANG MELAYANI KEMISKINAN


Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi satu tolok ukur kesejahteraan. Fakta yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa persepsi mengenai pembangunan dan tujuan utama untuk menciptakan kesejahteraan tidak terwujud. Hal ini merupakan isyarat bahwa arah kebijakan ekonomi-politik yang selama ini dijalankan telah salah arah dan perlu ditinjau ulang. Pertumbuhan ekonomi dan indikator ekonomi makro ternyata tidak terkait langsung dengan berkurangnya tingkat kemiskinan secara signifikan. Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia (tidak kurang 7 persen per tahun) yang pernah mendapat sebut salah satu macam Asia (Asian Tiger) bertahan selama lebih dari 3 dasawarsa. Namun krisis ekonomi tahun 1998, telah meruntuhkan fondasi ekonomi Indonesia yang telah ditata selama lebih dari 32 dan ini membuktikan akan kerapuhan resep ekonomi-politik yang diterapkan pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi yang menjadi dewa bagi ekonom neoliberal (di Indonesia dikenal dengan ekonom ”mafia berkeley” ekonom Orde Baru) ternyata hanya pepesan kosong, karena hampir tidak ada relevansi dengan aktivitas ekonomi riil. Sehingga tercipta apa yang seringkali dinamakan bubble economic. Yaitu, aktivitas ekonomi yang hanya di atas kertas jauh menggelembung dibanding dengan aktivitas ekonomi riil. Namun herannya, walaupun pengalaman selama tidak kurang dari 40 tahun (1966-2006), terutama sejak Orde Baru berkuasa hingga mengalami puncaknya pada krisis ekonomi, tidak juga ada evaluasi konsep ekonomi neoliberal yang terbukti gagal. Uniknya, walaupun sudah terjadi perubahan politik dan struktur pemerintah namun kekuatan ekonom ini masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan agen internasional untuk menerapkan berbagai strategi dan resep kebijakan neoliberal dari institusi washington consessus (Bank Dunia, IMF dan WTO) (Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Revrisond Baswir, 2006).

Hak-hak dasar yang terabaikan

Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak seharusnya dijadikan tumpuan bagi seluruh aktivitas ekonomi, baik secara konsep maupun dalam praktis tidak terlaksana. Padahal hal tersebut sudah jelas-jelas merupakan amanat UUD 1945. Bahkan negara telah mengingkarinya dengan berbagai kasus pengangguran, busung lapar dan pemerataan kemiskinan. Jadi, yang terjadi kemudian adalah pertumbuhan ekonomi dengan pembesaran kue pembangunan di tangan oligarkhi dengan pemerataan kemiskinan di dalamnya. Pertumbuhan ekonomi tanpa pembangunan (economic growth without development) mungkin menjadi ungkapan yang tepat. Yang terjadi kemudian, fundamentalisme pasar hanya menggusur orang miskin tidak menggusur kemiskinan secara substansial. Menyitir pernyataan Prof. Sri Edi Swasono, Ph.D, daulat telah akyat digusur oleh daulat pasar.

Peran negara yang seharusnya tetap sebagai pelayan publik dengan menyediakan akses bagi kebutuhan publik makin menciut perannya. Kemandulan di berbagai sektor pun terjadi. Mulai dari bidang pendidikan misalnya. Selain makin menipisnya akses pendidikan, rencana kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 persen yang dialokasikan dalam APBN-P tahun 2006 sepertinya juga tidak akan banyak mengubah peta kenaikan angka masyarakat untuk mengakses pendidikan. Hal ini dikarenakan tingginya biaya pendidikan akibat adanya komitmen liberalisasi di sektor pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah. Bukti nyata dari liberalisasi pendidikan adanya komersialisasi perguruan tinggi melalui BHMN (Badan Hukum Milik Negara).

Tidak beda halnya dengan masalah pangan. Pangan yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar dan ketersediaanya dijamin oleh pemerintah ternyata hanya menjadi komoditas politik. Kedaulatan pangan dan pertanian sudah tidak ada lagi. Bilamana pada era tahun 80-an dengan bangga kita mengatakan telah berswasembada pangan, sekarang ini dengan menundukkan kepala kita harus malu sebagai bangsa pengimpor pangan. Kebijakan pemerintah selama tahun 2005 dinilai tidak berpihak kepada petani, terutama dengan dibukanya keran impor beras pada bulan November 2005 sebanyak (laporan resmi) 70.050 ton, yang menghancurkan mekanisme harga beras lokal dan perlahan-lahan menihilkan perlindungan terhadap pasar domestik. Komitmen liberalisasi pasar melalui perundingan WTO yang menghasilkan kesepakatan dalam bidang pertanian (Agreement of Agriculture) menekan Indonesia untuk membuka akses pangan dan liberalisasi pertanian dan ini merupakan ancaman kedaulatan pangan.

Semangat Kekeluargaan Bukan Romantisme

Dunia internasional sekarang ini sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan penghapusan kemiskinan melalui agenda Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs-Millineum Development Goals). Target pengurangan penduduk miskin di dunia lebih dari ¼ dari jumlah yang sekarang ini menjadi concern seluruh masyarakat dunia. Mau tidak mau harus ada penataan ulang bangunan konsep ekonomi selama ini. Pertumbuhan ekonomi sudah saatnya tidak lagi menjadi panglima. Pemerataan pembangunan harusnya yang menjadi titik tolak pemerintah. Artinya, pembangunan hanya menjadi alat (tool) untuk menciptakan kesejahteraan dan menghapuskan kemiskinan dan bukan sebaliknya. Namun apa yang dirasakan sekarang ini dengan berbagai kebijakan pemerintah tidak juga berpihak kepada masyarakat miskin. Kenaikan harga BBM, TDL dan komersialisasi pendidikan tinggi melalui BHMN (Badan Usaha Milik Negara) merupakan satu bukti konkret ketidakberpihakan pemerintah.

Bagaimanakah arah pembangunan harus dilakukan? Ini menjadi pertanyaan pokok. Kembali kepada prinsip kekeluargaan, demikian pendapat dari Prof. Sri Edi Swasono. Dan benar adanya pendapat tersebut. Semangat kekeluargaan sekarang ini telah direduksi sedemikian rupa sehingga hilang dan hanya menjadi romantisme zaman perjuangan masa perjuangan dan perebutan era Soekarno-Hatta. Padahal semangat ini masih sangat relevan dan dapat menjadi jalan keluar dari krisis bangsa sekarang ini. Selain itu, juga karena jiwa dan semangat kekeluargaan merupakan jiwa bangsa Indonesia.

Semangat kekeluargaan atau seringkali diterjemahkan sebagai mutualism and brotherhood, atau dalam prinsip ekonomi diartikan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan (pasal 33 UUD 1945), atau dalam konsep Islam dikenal ukhuwah islamiyah. Oleh karena itu, pada dasarnya ekonomi (pembangunan didalamnya) secara substansial harus berlandaskan pada usaha sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Dalam arti, rakyat merupakan tujuan akhir yang menjadi tumpuan seluruh kegiatan ekonomi. Jadi, ekonomi tidak lain adalah alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Bilamana tidak juga terwujud kesejahteraan justru malah makin luasnya kemiskinan dan kesenjangan sosial, maka mutlak dikatakan bahwa sistem ekonomi yang diterapkan secara prinsip adalah salah atau gagal secara prinsip.

Wawan Fahrudin: Mantan Peneliti Institute for Global Justice, sekarang menjadi peneliti di Pathways Institute

Monday, June 11, 2007

Kebijakan Politik Dalam Mewujudkan Reformasi POLRI


Pendahuluan

Keinginan menegakkan supremasi hukum dan pembenahan kelembagaan aparatur negara di Indonesia masih menjadi jalan panjang yang belum juga terwujud. Sebenarnya kunci utama yang dibutuhkan tidak lain adalah adanya kemauan politik (political will) yang kuat untuk mengatasi berbagai persoalan rumit bangsa. Persoalan tersebut terkait dengan aspek hukum secara materiil maupun terhadap aparat penegakan hukum didalamnya.

Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut dengan jalan melakukan perubahan-perubahan, bahkan pembaharuan, terhadap berbagai aspek hukum. Program reformasi hukum, tidak bisa tidak, harus digulirkan secara bersama-sama dengan melibatkan secara aktif seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), dengan beban terbesar diletakkan pada pundak penyelenggara negara, salah satunya tentu Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).

Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi. Era otonomi daerah dengan memberikan desentralisasi kewenangan kepada daerah juga merupakan input positif dalam tata laksana pembaharuan aparatur negara. Otonomi daerah telah membuka peluang yang luas dalam mengikutsertakan elemen-elemen pemangku kepentingan (stakeholder) untuk dapat berparsipasi secara aktif menggulirkan reformasi penegakan hukum di Indonesia. Tentu saja perubahan dinamika politik di tingkat nasional tersebut membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik nasional, melainkan juga dinamika sistem-sistem lain yang menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia dan makin mempererat persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Indonesia saat ini di bidang politik dalam negeri adalah adanya ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif); belum akomodatifnya konstitusi terhadap dinamika perubahan masyarakat; rentannya konflik, baik vertikal maupun horizontal; menguatnya gejala disintegrasi bangsa; serta merebaknya berbagai tindak kekerasan dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak.

Selain itu, permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari warisan sistem politik pada masa lalu adalah ketidaknetralan serta keberpihakan pegawai negeri sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) terhadap kepentingan penguasa; lemahnya pengawasan terhadap kinerja penyelenggara negara, sehingga menjadi penyebab meluasnya tindakan KKN; belum terlaksananya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance); lemahnya kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara, dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM); serta belum memadainya sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan.



Reformasi Kebijakan untuk Merevitalisasi Fungsi POLRI sebagai Pengayom dan Pelayan Masyarakat.

Reformasi terhadap lembaga aparatur negara seperti halnya Polisi Republik Indonesia (POLRI) tidak dapat diselenggarakan secara terpisah dari lembaga kenegaraan lainnya. Angkatan Kepolisian yang tangguh akan dengan cepat menjadi mandul apabila tidak didukung secara optimal aparatur penegak hukum lainnya, seperti jaksa, hakim, dan kepala lembaga kemasyarakatan. Demikian pula, patut diperhatikan bahwa upaya reformasi kelembagaan POLRI tidak hanya pada tataran legal formal. Penyelenggaraan reformasi terhadap lembaga-lembaga tersebut diatas pun tidak mungkin terjadi bila pendapatan negara tidak cukup untuk membayar gaji yang bisa memenuhi kebutuhan dasar, serta menutup biaya–biaya lembaga pemerintahan untuk keperluan sumberdaya dan operasional dasar.

Akibat belum terpenuhinya aspek-aspek di atas, korupsi telah mewabah hampir ke seluruh bidang pekerjaan kepegawaian negeri, mulai dari lapisan terbawah hingga yang teratas, tak terkecuali di dalam tubuh POLRI. Beberapa waktu lalu, pemberitaan yang tidak sedap sempat muncul beberapa kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di tubuh POLRI seperti yang diungkap dalam skripsi mahasiswa PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Demikian juga konstalasi politik, dan perubahan sistem pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan secara demokrasi, belum juga mengubah struktur politik pokok masih didasari jaringan perlindungan (patronage) yang sudah tertanam dalam.

Namun lambat laun, seiring perubahan politik yang terjadi, reformasi dapat menjalar ke bidang-bidang yang lebih signifikan, sehingga korupsi dapat ditekan hingga ke tingkat yang lebih terkendali.Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga makin mengokohkan kinerja aparatur Kejaksanaan dalam mengatasi permasalahan korupsi. Namun demikian harus tetap disadari bahwa hal tersebut bukanlah suatu proses berjangka pendek dan membutuhkan energi yang besar untuk menjaga konsistensi penegakan aparat hukum, dengan didukung oleh POLRI.

Reformasi bukan sekedar masalah hukum yang tidak memadai, lembaga-lembaga yang lemah, kode etik atau keahlian melainkan terutama masalah kemauan politik, atau political will dari pemerintah. Tanpa ada kemauan politik, sangat mustahil menuntut reformasi secara produktif dalam bidang administrasi serta operasi kepolisian.

Terkait dengan peran dan fungsi POLRI, tuntutan untuk menjadi institusi sipil tidak dapat ditawar lagi. Pergeseran paradigma pengabdian POLRI yang sebelumnya cenderung digunakan sebagai alat Penguasa ke arah mengabdi bagi kepentingan masyarakat telah membawa berbagai implikasi perubahan yang mendasar. Salah satu perubahan itu adalah perumusan kembali perannya sesuai Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 yang menetapkan POLRI berperan selaku pemelihara Kamtibmas, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Arah kebijakan strategis POLRI yang mendahulukan tampilan selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dimaksud bahwa, dalam setiap kiprah pengabdian anggota POLRI baik sebagai pemelihara Kamtibmas maupun sebagai penegak hukum haruslah dijiwai oleh tampilan perilakunya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, sejalan dengan paradigma barunya yang mengabdi bagi kepentingan masyarakat.

POLRI yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat harus mengubah citra militeristiknya tatkala masih menyatu dengan institusi militer (TNI). Perkembangan institusi POLRI (Kepolisian RI) di masa mendatang mengalami perubahan mendasar sejak lahirnya UU Kepolisian yang baru (UU No.2 Tahun 2002). Tentu pada gilirannya, akan memberikan keleluasaan bagi POLRI untuk bertindak, serta menegaskan kembali bahwa POLRI sudah berpisah dari TNI. Pemisahan POLRI dari TNI merupakan suatu langkah strategis guna mengembalikan POLRI kepada jati dirinya, yaitu sebagai polisi yang berwatak sipil.

Namun sayangnya, sampai dengan detik ini peraturan pelaksana dari UU Kepolisian masih sangat minim. Hal ini tentu sangat menghambat tugas POLRI dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bahkan, akibat minimnya peraturan pelaksana UU Kepolisian, masyarakat malah bisa menjadi kurang terlindungi. Padahal, esensi dari lahirnya UU Kepolisian adalah memberikan perlindungan dan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Menurut Adrianus Meliala, kriminolog Fisip Universitas Indonesia, minimnya peraturan pelaksana ini akan berdampak pada citra POLRI kepada masyarakat. Hal ini mengingat POLRI adalah institusi yang memiliki kewenangan besar, yang tentu memerlukan pengawasan.

Peraturan pelaksana yang memainkan peran (pengawasan) terhadap POLRI hingga sekarang ini belum memadai. Tidak adanya peraturan pelaksana akan menyebabkan kesenjangan (gap) di tubuh POLRI. Tentunya, ini akan berpengaruh terhadap kinerja POLRI dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta berpengaruh juga terhadap hubungan POLRI dengan TNI.

Dalam bab II Tap MPR Ketetapan MPR No VII/MPR/ 2000 tentang Peran TNI dan POLRI, terutama dalam Pasal 6 juga ditegaskan bahwa fungsi dari POLRI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Hal senada juga ditegaskan oleh Prof. Dr Dimyati Hartono bahwa penyelenggara negara harus memperhatikan semangat kebatinan atau semangat/spirit pembentukan Tap MPR No VII/MPR/2000 serta konsistensi penyelenggara negara dalam menerapkan Tap MPR tersebut demi adanya kepastian hukum.

Suasana kebatinan pembentukan Tap MPR No VII/MPR/ 2000 adalah semangat reformasi untuk melepaskan institusi POLRI dari ABRI dan mengubah POLRI menjadi penegak hukum yang berada dalam lingkungan sipil. Hal ini disebabkan karena sebelum era reformasi POLRI melekat dengan TNI sehingga kesan militeristiknya sangat kuat. Optimalisasi peran POLRI dalam secara keseluruhan menyangkut aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan pengawasan. Di samping menjalan fungsinya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, POLRI juga harus mendukung agenda otonomi daerah.

Selain adanya pembenahan dalam hal konstitusional, reformasi POLRI juga harus diiringi dengan adanya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tangguh. Peningkatan kemampuan SDM ini pada akhirnya akan menunjang profesionalisme POLRI sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Bila dilihat kontekstual terhadap masa lalu dan keadaan sekarang yang sedang berlangsung tercatat pula berbagai keluhan dan ungkapan ketidakpuasan terhadap Polri. Dengan perkataan lain pada saat ini masih dirasakan kesenjangan yang cukup lebar antara tuntutan dan harapan masyarakat dengan tingkatan kemampuan Polri untuk menyajikan tingkat dan bentuk pelayanan yang memadai.

Kesimpulan dan Rekomendasi Politik

Dinamika pelayanan Polri Mengacu kepada paradigma baru. Keberhasilan POLRI dapat diketahui tidak hanya dari kriteria keberhasilan pelaksanaan tugas POLRI, namun juga ditentukan berdasarkan penilaian dari masyarakat. Secara relatif keberhasilan itu ditandai dengan semakin dekatnya kualitas penyajian pelayanan POLRI dengan harapan-harapan masyarakat.

Bergulirkan iklim reformasi dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi adanya pembenahan dan pembaharuan hukum dan aparatur penyelenggara hukum. Tuntutan untuk mengadakan reposisi peran POLRI dalam lingkungan sipil sudah menjadi keharusan. Peran dan fungsi POLRI secara substansial dan fungsional memang berbeda dengan TNI yang pada era sebelumnya menjadi induk POLRI. Perubahan citra yang bercorak sipil harus dikedepankan oleh POLRI. Setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan jika POLRI serius melakukan perubahan, yaitu:

  • Fungsi kepemimpinan institusi POLRI,
  • Adanya tekanan yang cukup besar dari luar lingkungan POLRI (badan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif)
  • Kesadaran dari institusi POLRI mengenai kebutuhan adanya paradigma baru dalam menjalankan fungsi polisi sipil,
  • Adanya dukungan infrastruktur yang memadai dalam mempercepat proses perubahan tersebut,
  • Dukungan penggerak ekonomi yang memadai bagi para personel POLRI, seperti gaji dan anggaran

Ada beberapa masukan yang patut diperhatikan antara lain:

  • Mendorong regulasi yang menempatkan kedudukan POLRI dalam ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara yang menghasilkan sinergi optimal bagi kepentingan nasional dan memungkinkan dinamika peranan kepolisian pada tataran operasional teknis dan tataran kebijakan secara nasional.
  • Adanya otonomi kewenangan teknis profesi kepolisian dan penegak hukum yang bersumber dari undang-undang dan berkait dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system).
  • Meninjau kembali masalah keamanan dalam negeri serta menciptakan strategi menyeluruh untuk mencari keterpaduan terhadap tuntutan otonomi daerah dalam suatu kerangka nasional (NKRI).
  • Mengoptimalkan kerjasama Polisi Republik Indonesia dengan unsur penegakan hukum lainnya, terutama kejaksaan dan sistem peradilan, serta menjalin kerjasama yang positif terhadap angkatan kepolisian negara-negara lain.
  • Mendorong kepada pemerintah untuk menjaga konsistensi reformasi di tubuh POLRI, termasuk memberi petunjuk mengenai implementasi reformasi, serta membina hubungan dengan instutusi penegakan hukum lainnya.
  • Mendukung reformasi militer sebagai pelengkap pokok bagi reformasi Polisi Republik Indonesia (POLRI).
  • Perbaikan kualitas aparatur POLRI yang dilakukan sejak tahap penerimaan dengan menerapkan sistem seleksi yang ketat. Pendidikan dan pelatihan serta kemampuan akan digunakan sebagai kriteria utama dalam setiap promosi jabaran disamping diterapkannya sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment) yang adil.
  • Meningkatkan tingkat kesejahteraan aparatur penegak hukum, termasuk POLRI didalamnya untuk mencegah terjadinya KKN serta mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal

(Wawan Fahrudin, Peneliti Pathways Institute)

Mengkaji Iklim Investasi dan Kepastian Hukum di Daerah



I. Pendahuluan

Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1998, masih menyisakan berbagai persoalan bangsa, yaitu mulai dari masalah ekonomi, juga instabilitas politik dan keamanan. Akibatnya Indonesia mengalami krisis multidimensi. Harga-harga kebutuhan pokok tidak terjangkau, daya beli masyarakat menurun, hilangnya minyak tanah di pasaran, kenaikan harga BBM, kenaikan harga beras sekarang ini, seluruhnya menggambarkan bahwa stabilitas ekonomi makro Indonesia belum sepenuhnya stabil.

Selain itu, krisis berkepanjangan ini juga diiringi dengan berbagai kerusuhan etnis yang terjadi di berbagai daerah, seperti Poso, Ambon. Hal ini mencerminkan bahwa Indonesia mutlak membutuhkan pemimpin nasional yang memiliki komitmen dan visi yang jelas dalam mengemban amanat guna mengentaskan bangsa Indonesia dari himpitan krisis mulltidimensi.

Sentralisasi ekonomi yang menjadi tumpuan pada masa Orde Baru sudah berakhir seiring dengan terjadinya krisis tahun 1998. Masa reformasi menuntut adanya desentralisasi pengelolaan ekonomi dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada daerah dalam mengelola potensi daerahnya. Lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disempurnakan menjadi UU No. 32 tahun 2004 bersamaan pula lahir perundang-undangan terkait, seperti UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menjadi perangkat hukum yang mengatur masalah otonomi daerah.

Stabilisasi ekonomi makro yang menjadi tumpuan pokok pada masa otonomi daerah dilakukan melalui upaya desentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah. Berderet masalah sosial, ekonomi, politik dan keamanan masih menghimpit bangsa Indonesia. Beratnya kehidupan masyarakat juga ditandai dengan banyaknya penderita gizi buruk dan busung lapar, yang pada akhirnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

Penguatan usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia juga tidak luput dari perhatian, baik pemerintah pusat maupun daerah. Krisis yang terjadi pada tahun 1998 dinyatakan dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF-World Economic Outlook 1998), digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu krisis mata uang (currency crisis), krisis perbankan (banking crisis), krisis keuangan sistemik (systemic financial crisis) dan krisis hutang luar negeri (foreign debt crisis). Dan di Indonesia krisis ekonomi sudah meluas tidak hanya terjadi pada sektor keuangan dan perbankan namun juga sudah mengarah pada terjadinya krisis moral dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, seringkali krisis di Indonesia dinamakan krisis multidimensi.

Pembangunan pondasi ekonomi juga membutuhkan investasi dalam bidang pendidikan untuk meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tentu saja menjadi sangat signifikan perannya dalam merekatkan bangsa Indonesia yang multi etnis. Gejolak daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) mewarnai perjalanan bangsa Indonesia pasca krisis ekonomi 1998, pelan namun pasti sudah dapat diatasi dan membuahkan perdamaian. Prestasi penyelesaian konflik secara damai menjadi catatan prestasi pemerintah sekarang ini, di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan H.M Jusuf Kalla, yang dikenal dengan perjanjian Helsinki. Hal ini merupakan wujud dari penerapan konsep Ketahanan Nasional.

Konsepsi Ketahanan Nasional diperlukan untuk mencapai tujuan nasional Indonesia, yang pada intinya tercapainya rasa keamanan bagi seluruh penduduk Indonesia dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Keamanan dan kesejahteraan harus dilakukan secara berkesinambungan dan selaras, untuk mengatasi berbagai gejolak ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam (IPOLEKSOSBUDHANKAM). Dalam makalah ini akan membahas mengenai persoalan investasi di daerah terkait dengan adanya ketidakpastian hukum dan respon aparat pemerintah yang dirasakan masih kurang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemajuan pembangunan di daerah yang pada akhirnya berpengaruh terhadap Ketahanan Nasional.

II. Pokok Permasalahan

Investasi sangat penting untuk menggerakkan perekonomian nasional sekaligus daerah yang pada gilirannya akan mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Otonomi daerah menjadi momentum berharga untuk membuktikan diri bahwa daerah memiliki kemampuan tangguh dalam mengelola potensi ekonominya. Kunci keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian hukum.

Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih belum terbenahi dengan baik. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum di daerah, dan pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi di daerah. Selain itu, konsepsi Ketahanan Nasional dengan mengutamakan keseimbangan antara pengaturan dan penyelenggaraan keamanan di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di lain pihak juga masih terabaikan. Bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan ditopang oleh peraturan yang mendukung sehingga mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat dan juga menciptakan stabilitas politik guna meningkatkan Ketahanan Nasional?


III. Pembahasan

A. Mengutamakan Kepentingan Daerah Sebagai Wujud Desentralisasi

Pengusaha mancanegara yang ingin berinvestasi di salah satu kabupaten di Sumatera, yaitu Kabupaten Pelalawan mungkin dapat bernafas lega kali ini karena ia tidak perlu menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya untuk membayar pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi karena cukup panjangnya jalur birokrasi untuk memperoleh izin usaha tersebut.

Gambaran di atas merupakan dampak akibat ditandatanganinya Keppres No. 29 tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri mengenai penyelenggaraan penanaman modal (PMDN/PMA) melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan Satu Atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota berdasarkan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM.

Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta provinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Pembahasan bab ini mengulas secara ringkas hal-hal yang berkaitan dengan Keppres No. 29 tahun 2004, latar belakang, kondisi investasi saat ini, dampak serta strategi investasi yang harus diambil.

Pemerintah pada akhirnya perlu untuk mengeluarkan Keppres No. 29 tahun 2004 mengingat cukup banyaknya kendala yang dihadapi oleh para investor yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha atas kegiatan investasi di daerah. Masalah ini justru malah timbul setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun demikian, isi pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak dijelaskan lebih lanjut secara teknis, sehingga pada pelaksanaannya penanaman modal daerah seringkali menimbulkan kendala yang dikeluhkan oleh para investor, yaitu tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu cukup lama disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.

Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat (BKPM) dan pemerintah provinsi (BKPMD). Sejak diimplementasikannya otonomi daerah, terdapat tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD provinsi dengan BKPM serta instansi daerah yang menangani investasi/penanaman modal. Beberapa daerah menggabungkan kewenangan investasi/penanaman modal dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada pula yang membentuk suatu dinas penanaman modal sendiri. Namun demikian, banyak pula kabupaten/kota yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat.

Berdasarkan studi LPEM UI (Construction of Regional Index of Doing Business -CoRIDB)-2001, masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di daerah adalah masalah birokrasi, ketidakpastian hukum dan biaya investasi yang harus dikeluarkan serta bongkar pasang peraturan pemerintah. Tidak jarang bongkar pasang peraturan terjadi hanya disebabkan oleh desakan (demonstrasi) oleh sebagian kecil masyarakat. Selayaknya pemerintah pusat melibatkan daerah secara penuh dalam penyusunan rancangan peraturan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan pelaksana dibawahnya.

Perjuangan untuk menjaga konsistensi pemerintah dalam menegakkan peraturan dan usulan serta masukan-masukan untuk melakukan revisi peraturan yang sesuai dengan nafas otonomi daerah diantaranya telah dilakukan oleh Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), dan membuahkan hasil dimana telah terjadi perubahan peraturan misalnya saja: perubahan UU No. 22 tahun 1999, menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan PP No. 37 tahun 2006 dari perubahan PP No. 24 tahun 2004 tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler pimpinan dan anggota DPRD. Berbagai kendala inkonsistensi terhadap regulasi tersebut menjadi kendala nasional yang signifikan dalam menghambat iklim investasi. Selain itu juga berpengaruh terhadap kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia yang belum sepenuhnya stabil.

Pajak/retribusi usaha yang sebagian besar akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha juga belum memiliki aturan yang jelas. Berdasarkan data KADIN pada tahun 2001, dari 910 Peraturan Daerah (Perda) mengenai pajak/retribusi, sebanyak 14.7% pajak daerah dan 72.2% retribusi daerah berhubungan dengan dunia usaha, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga kekhawatiran pengusaha cukup beralasan mengingat banyaknya Perda baru yang berkaitan dengan pajak/retribusi daerah yang akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha.

Selain itu, Data KPPOD di tahun 2003 mengenai Perda yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap dunia usaha, juga menunjukkan terdapat 500 Perda dari 1300 Perda yang dianalisis, merupakan Perda yang bermasalah, baik secara prinsip, substansi, atau teknis. Namun permasalahan utama investasi di daerah sebenarnya bukan terletak pada Perda yang dibuat oleh Pemerintah Daerah namun lebih disebabkan karena ketidakjelasan peraturan pemerintah pusat.

Berangkat dari kondisi-kondisi di atas, Keppres No. 29 tahun 2004 bertujuan untuk menjamin kepastian investor dalam berinvestasi di Indonesia. Sistem Pelayanan Satu Atap ini diharapkan dapat mengakomodasikan keinginan dunia usaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, cepat, dan tepat. Sehingga, dengan didukung oleh kondisi ekonomi makro yang membaik saat ini, adanya Keppres No. 29 tahun 2004 diharapkan dapat menarik dan mempercepat masuknya investor di Indonesia.

B. Ketidakpastian Hukum dalam Investasi

Untuk kesekian kalinya, iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Juga untuk kesekian kalinya, Bank Dunia memberikan penilaian yang sama. Indonesia sekarang ini sudah bukan menjadi tujuan utama bagi investor asing. Para investor yang sudah mengenal Indonesia pun malah cenderung menghindari negeri ini.

Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim investasi di Indonesia tergolong paling buruk di antara negara-negara lain. Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro, kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan SDM yang terampil, dan ketersediaan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dsb). Untuk sekadar mendapatkan perizinan di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal yang dikeluarkan 364,9% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita.

Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merebak di mana-mana, di berbagai level. Sebagai gambaran, untuk memperlancarkan proses perizinan, seorang investor terpaksa harus menyerahkan sejumlah uang. Bahkan tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan investor tidak segera diselesaikan. Regulasi di Indonesia hingga saat ini memang dinilai masih sangat lemah. Kelemahan regulasi ini nyaris mencakup semua aspek. Sebutlah misalnya regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, investasi, dsb. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan menyebabkan pungutan liar serta merebaknya tindak korupsi.

C. Peningkatan Investasi Meningkatkan Pendapatan Negara

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 ditetapkan pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional 6.6%. Dengan pertumbuhan rata-rata tersebut diharapkan dapa menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8.2% dan mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5.2% pada tahun 2009. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut diperlukan investasi sekitar US$ 426 milyar. Investasi tersebut dapat berupa investasi atau dana yang berasal dari APBN atau APBD, masyarakat maupun swasta nasional dan swasta asing. Akibat terbatasnya kondisi tersebut di atas, maka investasi luar negeri menjadi andalan utama untuk mendorong perekonomian nasional.

Sektor yang paling gencar ditawarkan untuk investor asing adalah industri berorientasi ekspor yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan negara dan sekaligus memperkokoh Ketahanan Nasional.

Ketatnya persaingan antar negara dan dinamisnya perubahan lingkungan serta untuk menghindari pengaruh-pengaruh asing terhadap arah dan tujuan pembangunan nasional maka kita harus tetap mengacu kepada Paradigma Nasional sehingga setiap langkah pembangunan memiliki kesamaan landasan idiil, konstitusional, visional dan konseptual guna mencapai kemakmuran dan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, Ketahanan Nasional kita akan semakin kokoh.

Para pengusaha selama ini banyak mengeluhkan tarif pajak yang terlalu tinggi, jenis pajak yang terlampau banyak, pajak berganda (double taxation). Tidak jarang petugas pajak dan penegak hukum terkait mencari-cari celah untuk menjebak dan memeras investor dan instansi-instansi yang terkait. Seringkali investor harus mengeluarkan dana yang besar untuk menyuap para oknum penegak hukum, dan apabila hal tersebut tidak dilakukan biasanya usahanya tidak dapat berjalan lancar. Dan ini menimbulkan kerugian yang besar, terutama di bidang lapangan pekerjaan, bertambahnya tingkat pengangguran dan juga kerugian materiil bagi para investor.

Sistem perpajakan di Indonesia terlalu memberatkan pengusaha. Survei Bank Dunia menunjukkan, pengusaha harus membayar pajak sebesar 38,8% dari keuntungan kotor. Selain menguras dana begitu besar, para pengusaha menyisihkan waktu hingga 560 jam per tahun atau 2 bulan 10 hari dalam satu tahun hanya untuk mengurusi pembayaran pajak. Dan hal itu sangat merugikan dunia usaha.

Peraturan ketenagakerjaan juga terlampau memberatkan investor. Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan uang pesangon meski si pekerja dipecat lantaran tindak kriminal atau pelanggaran berat. Tidak heran bila Indonesia tertinggi dalam soal biaya untuk mem-PHK karyawan, yaitu mencapai 145 gaji mingguan. Untuk menarik minat investor, peraturan ketenagakerjaan memang tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak, entah itu pekerja, pengusaha sebagai pemberi kerja, ataukah konsumen sebagai pengguna produk dan pemakai jasa. Regulasi yang harus diusahakan pemerintah adalah peraturan ketenagakerjaan yang menguntungkan semua pihak, baik pekerja, pengusaha, maupun konsumen.

Sebetulnya bagi pemerintah, tidak sulit membuat regulasi yang benar. Pemerintah bisa membentuk tim ahli untuk mempelajari berbagai regulasi di negara-negara maju seperti di Eropa, AS, dan Jepang. Selain itu, juga dapat belajar lewat regulasi di negara-negara Asia yang sudah mencapai tahap kemajuan lebih baik, namun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia. Hanya dengan sedikit modifikasi, Indonesia akan memiliki regulasi yang baik di berbagai bidang. Semua yang disarankan ini sesungguhnya sudah diketahui pemerintah. Namun persoalan pokok bukan pada ketidaktahuan, melainkan belum adanya kemauan dari pemerintah pusat untuk mengadopsi peraturan yang baik di bidang investasi. Sangat boleh jadi, berbagai regulasi yang ada sekarang ini hanya menguntungkan pihak tertentu disebabkan oleh tingginya kepentingan para pengambil keputusan.

Pada awal 1990-an, Indonesia digolongkan dalam satu gerbong dengan Malaysia dan Thailand sebagai negara berkembang yang segera menjadi negara industri baru. Namun, pada awal 2000-an, Indonesia sudah dipindahkan ke gerbong lain bersama Vietnam dan Myanmar. Kini, Myanmar dan Vietnam lebih menarik minat pemodal asing ketimbang Indonesia. Tiada solusi lain untuk membuka lapangan pekerjaan selain memperbaiki iklim investasi. Hanya dengan iklim investasi yang kondusif, para investor, baik dari dalam dan luar negeri, berani menanamkan modalnya.

Lebih lanjut apabila kita melihat kondisi investasi di Indonesia, khususnya setelah diberlakukannya otonomi daerah adalah seperti yang digambarkan pada gambar berikut:

Terlihat bahwa terdapat trend yang sama baik investasi domestik dan asing (PMDN dan PMA). Setelah terjadinya krisis di tahun 1997, PMA dan PMDN mengalami penurunan yang cukup drastis. PMA jatuh dari posisi 33.788,8 juta dolar AS di 1997 ke 10.884,5 juta dolar AS di tahun 1999.

Setelah pemilu tahun 1999, investasi kembali meningkat. Namun, baik PMA maupun PMDN kembali mengalami penurunan yang cukup drastis pada tahun 2001 dan 2002 yang bersamaan dengan dimulai diterapkannya otonomi daerah. Walaupun terjadi kenaikan di tahun 2003, trend penurunan tingkat investasi selama periode di atas menjadi dasar pemerintah untuk mengambil langkah sebagaimana dinyatakan dalam Keppres No. 29 tahun 2004. Walaupun demikian, banyak praktisi ekonomi serta pengamat yang menganggap tindakan pemerintah sudah terlambat, dimana Indonesia sudah terlanjur kehilangan momentum. Sudah cukup banyak investor yang menutup dan memindahkan usahanya ke negara lain karena tidak cukup kondusifnya iklim investasi di Indonesia.

Sebenarnya terdapat sebagian kabupaten/kota yang telah memiliki iklim investasi yang kondusif. Seperti ulasan dalam majalah Swa, pembentukan Kantor Pelayanan Satu Atap (KPSA) bukan merupakan hal baru bagi pemerintah kabupaten Jepara. Bahkan Bupatinya menjamin surat perizinan usaha dapat diperoleh dalam waktu 5-7 hari. Selain itu, untuk mendorong majunya usaha ekspor produk mebel di luar negeri, pemerintahnya juga menelurkan kebijakan bebas pajak (tax holiday) bagi para investor di daerah tertentu. Demikian halnya dengan Pemda Kota Yogyakarta. Pendirian Unit Pelayanan Satu Atap telah berhasil memangkas birokrasi sehingga perizinan investasi baru di kota ini menjadi mudah.

Pembangunan fasilitas penunjang seperti terminal juga merupakan nilai plus di mata investor untuk pengembangan usaha. Tidak ketinggalan dengan Pemda Kabupaten Lamongan. Kebijakan diarahkan kepada perbaikan iklim investasi dalam menekankan kecepatan layanan, perizinan usaha, dan insentif bagi para pengusaha, juga pembangunan prasarana jalan.

Masih banyak daerah lain seperti Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur yang proaktif mengembangkan potensi SDM dan usaha agro industri walaupun daerahnya kaya Sumber Daya Alam (SDA), kabupaten Kebumen yang menekankan good governance, kabupaten Bekasi yang memanfaatkan peluang ekonomi dari Jakarta, kabupaten Sumedang yang terus membenahi tata ruangnya, kota Semarang yang mengedepankan efisiensi perijinan usaha, serta beberapa kabupaten/kota lainnya yang pemerintah daerahnya sangat concern dalam menarik investor untuk menanamkan modal di daerahnya.

IV. Kesimpulan

Kepastian hukum menjadi kunci bagi masuknya investasi di daerah. Apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini menjadi momentum bagi daerah untuk membuktikan diri bahwa daerah juga memiliki kemampuan dalam mengelola daerahnya secara mandiri. Namun yang patut menjadi perhatian adalah faktor-faktor antara lain:

1. Masih kuatnya sentralisasi perijinan di pusat dan belum jelas kewenangan pembagian porsi investasi di daerah

2. Lemahnya pengawasan aparat penegak hukum di pusat terhadap aparaturnya di daerah.

3. Belum adanya indikator untuk memonitor iklim investasi di Indonesia, misalnya terkait masalah: perpajakan, kepabeanan, infrastruktur, regulasi ketenagakerjaan, dan perijinan menjadi kendala utama dalam melakukan investasi di Indonesia

4. Tidak adanya kejelasan prosedural mengenai investasi. Hal ini terkait dengan tingginya biaya di luar pajak dan pungutan-pungutan tidak resmi yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum.

5. Keppres No. 29 tahun 2004 mengenai Penyelenggaraan penanaman modal (PMDN/PMA) melalui sistem pelayanan satu atap. Namun berdasarkan penelitian LPEM UI rata-rata pengurusan perijinan di atas ketentuan pokok, yaitu PMDN/PMA memerlukan waktu pengurusan ijin 50 hari padahal ketetapannya hanya 10 hari.

6. Belum adanya payung hukum yang pasti (misalnya: RUU Mineral & Batu Bara menyerahkan izin pertambangan kepada pemerintah daerah. Sedangkan RUU Penanaman Modal, justru membatasi investasi yang bisa dikelola oleh daerah

7. Pembatasan investasi yang diusulkan dalam RUU Penanaman Modal bertentangan dengan asas desentralisasi.

8. Belum adanya ukuran investasi yang bisa ditangani oleh pemerintah daerah.

Rekomendasi

  1. Pemerintah pusat segera mungkin melakukan sinkronisasi regulasi (payung hukum) untuk menghindari adanya tumpang tindih peraturan.
  2. Mendesak kepada pemerintah pusat untuk memberikan kejelasan pembagian wewenang dan ukuran investasi yang berhak dikelola oleh daerah dan yang menjadi wewenang pemerintah pusat.
  3. Adanya satu kesatuan penafsiran dalam pelaksanaan peraturan di daerah.
  4. Koordinasi antara aparatur penegak hukum di pusat dan di daerah
  5. Mendesak segera mungkin kepada DPR untuk mengkaji RUU Penanaman Modal yang akan menjadi payung bagi seluruh investasi.
  6. Dan yang paling penting adalah memberantas adanya oknum penegak hukum yang mencari-cari kesalahan berupa celah-celah kelemahan payung hukum yang belum pasti. Tujuannya adalah untuk menjebak dan memeras investor dan instansi-instansi yang terkait.
(Wawan Fahrudin, Peneliti Pathways Institute)

Fungsi Parpol dalam Melahirkan Pemimpin Daerah


Pengantar

Dalam konsepsi demokrasi terkandung azas dasar, yakni kedaulatan rakyat menentukan jalannya pemerintahan. Perwujudan azas kedaulatan rakyat ini dalam kehidupan pemerintahan sehari-hari tergambar dari dilibatkannya rakyat secara intensif dalam memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Ukuran kedaulatan rakyat dilihat dari semakin besarnya porsi peran yang dimainkan oleh rakyat, serta semakin selarasnya kepentingan rakyat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Disinilah, partai politik memainkan peran, yaitu menjembatani antara kepentingan rakyat untuk dapat diwujudkan dalam sebuah kebijakan. Walaupun terdapat banyak pandangan tentang partai politik, ada satu keseragaman dalam pandangan itu, yaitu bahwa partai politik memiliki sejumlah fungsi ideal dalam memperjuangkan kepentingan publik melalui suatu kompetisi kekuasaan (pemilu). Para ilmuwan politik mengidentifikasikan fungsi tersebut sebagai fungsi komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik, rekruitmen politik, dan pengatur konflik.

Partai politik merupakan embrio demokrasi perwakilan modern. Melalui sistem demokrasi, partai politik menampung berbagai aspirasi dan kepentingan yang berkembang di masyarakat untuk dapat diartikulasikan menjadi sebuah kebijakan. Selain itu, partai politik juga berfungsi sebagai agen untuk mereproduksi kader-kader pimpinan bangsa. Oleh karena itu, pertumbuhan partai politik pada hakikatnya merupakan cermin aspirasi masyarakat, yang membutuhkan wadah untuk mengelola berbagai kepentingan dan konflik. Pengelolaan konflik dan kepentingan dapat dipecahkan secara damai, dan menjadi salah satu tugas partai politik untuk menjembataninya. Partai politik juga dikenal sebagai organisasi yang mewadahi aspirasi dan kepentingan yang berkembang di masyarakat, sekaligus wadah untuk menempatkan kader yang potensial untuk meraih kekuasaan politik. Mekanisme meraih kekuasaan politik melalui mekanisme pemilu yang diadakan secara berkala.

Dalam konteks demokrasi modern, peralihan kepemimpinan diatur melalui pemilu secara berkala dan diikuti oleh konstentan dari partai politik. Pemilu sendiri berfungsi menciptakan pemerintahan yang kredibel, parlemen yang representatif, sirkulasi elit yang sehat, serta mewujudkan berfungsinya mekanisme check and balances di antara institusi-institusi politik.

Pengkaderan organisasi melalui partai politik, yang menjadi salah satu tugas partai politik pada gilirannya akan menciptakan calon-calon pemimpin bangsa yang memiliki visi dan misi ke depan dan siap bertarung dalam Pemilu. Pemilu sendiri merupakan mekanisme demokrasi, dan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Secara teoritis, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan, dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan.


Peran Partai politik Dalam Mewujudkan Pemimpin Daerah Yang Maju

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang merupakan mekanisme baru rekruitmen kekuasaan di daerah terus bergulir. Dinamika demokrasi yang berkembang di Indonesia pasca Orde Baru telah membawa wacana baru, bahwa ternyata penataan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak efektif apabila dikelola secara sentralistik. Oleh karena itu, muncullah wacana desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola daerahnya secara lebih luas namun bertanggung jawab dalam koridor wilayah kesatuan RI.

Wujud semangat desentralisasi adalah terciptanya pemimpin daerah yang langsung dipilih oleh rakyat melalui Pilkada. Penyerapan aspirasi rakyat juga dilakukan melalui mekanisme demokrasi yang sehat dengan membuka peluang, bahwa keterwakilan dalam partai politik betul-betul mencerminkan keterwakilan masyarakat. Pilkada inilah yang pada akhirnya akan menjembatani aspirasi rakyat daerah untuk memilih figur-figur yang dekat dan mewakili masyarakatlah yang berhak untuk duduk memimpin daerah tersebut.

Pemberlakukan aturan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (hasil revisi UU 22/1999) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2005 termasuk langkah progresif bagi penataan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan Pilkada langsung akan mencegah berbagai konspirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah (walikota/bupati). Selain itu, Pilkada juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi.

Aspirasi rakyat selama ini dengan sistem yang lalu (sistem politik sentralistik) belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten. Padahal maju atau tidaknya suatu daerah banyak ditentukan oleh kiprah dan keteladanan pemimpin daerah tersebut. Pada tingkat tertentu bahkan pemimpin daerah sangat dominan dalam menentukan gerak arah pembangunan di daerah tersebut. Tugas partai politik adalah menciptakan regenerasi kadernya yang siap apabila terjadi peralihan kekuasaan.

Peran partai politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat, adalah bagaimana partai politik memiliki andil yang cukup besar dalam hal: (1) Menyiapkan kader-kader pimpinan politik; (2) Selanjutnya melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan; serta (3) Perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan-jabatan politik yang bersifat strategis. Makin besar andil partai politik dalam memperjuangkan dan berhasil memanfaatkan posisi tawarnya untuk memenangkan perjuangan dalam ketiga hal tersebut, merupakan indikasi bahwa peran partai politik sebagai sarana rekruitmen politik berjalan secara efektif.

Rekruitmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untuk memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari cita-cita kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat luas.

Di satu pihak partai politik ikut memainkan peranannya dalam mewujudkan kehidupan demokrasi terutama karena partai politik menjadi wahana komunikasi antar elemen-elemen kemasyarakatan dan kenegaraan. Di pihak lain dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, partai politik juga dituntut untuk semakin eksis serta lebih berkualitas. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi.

Dengan demikian penataan kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan rakyat yaitu memberikan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang terpadu. Proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada partai politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggungjawab berdemokrasi.

Tampilnya kepala daerah berkualitas sudah menjadi kebutuhan cukup mendesak bagi proses pembaharuan di Indonesia -- khususnya untuk mendorong pelaksanaan governance reform (reformasi pemerintahan)-- dengan mengembangkan praktik-praktik demokrasi secara meluas yang mencakup penguatan pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan pendapatan ke tingkat bawah. Sebab, demokratisasi yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi tinggi dan tanpa disertai pemerataan rasa keadilan ke tingkat masyarakat secara meluas, pada akhirnya hanya akan menciptakan bom waktu sosial yang setiap saat bisa menimbulkan ledakan persoalan krusial dan menghambat terwujudnya kemapanan budaya demokrasi. Apalagi, ekses perdagangan bebas pada masa globalisasi yang mulai mendesak potensi usaha ekonomi mikro daerah juga memerlukan penanganan serius dan membutuhkan pemimpin yang memiliki kapasitas diplomasi ke tingkat internasional, serta strategi implementasi kebijakan untuk membawa daerahnya mampu bersaing dengan daerah lainnya, bahkan di tingkat internasional.

(Wawan Fahrudin, Peneliti Pathways Institute)

Meratapi Nasib (Petani) Indonesia


Ada dua sinyalemen menarik yang paradog, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tidak berjalan linier dengan pengurangan pengangguran secara signifikan. Di tambah sinyal dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam sidang tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB), bahwa tanda-tanda krisis seperti 1997 akan muncul lagi, yaitu membajirnya likuiditas (pasokan dana segar) di negara-negara Asia, tepat setelah satu dasawarsa krisis menjalari negara-negara Asia. Kasus di Jawa Tengah misalnya, meskipun pertumbuhan ekonominya meningkat selama 5 tahun terakhir, Sensus Ekonomi BPS Jawa Tengah juga menunjukkan meningkatnya laju pengangguran. Tercatat bahwa pada tahun 2001 tingkat pertumbuhan ekonomi sebanyak 3,59 %, naik menjadi 5,33% pada 2006 (Suara Merdeka, 11/5/2007). Tenaga kerja yang terserap sekitar 7,78 juta, dan tersebar di seluruh sektor ekonomi kecuali pertanian, meliputi sektor industri pengolahan dan perdagangan masing-masing menyerap 2,64 juta orang dan 2,43 juta orang. Mencermati fenomena ini layak bilamana publik bertanya-tanya apa relevansi pertumbuhan makro ekonomi dengan pergerakan sektor riil? Dan ujung dari tanda tanya besar tersebut adalah dimana ditempatkan nasib rakyat di antara data-data ekonomi tersebut?


Selama ini strategi Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan makro ekonomi salah satunya dilakukan dengan upaya meningkatkan daya saing Indonesia di pasar Internasional dengan harapan mendorong ekonomi Indonesia melalui peningkatan investasi, ekspor, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Pertanyaan lain yang muncul adalah, strategi seperti apakah yang telah disiapkan pemerintah untuk menciptakan industri yang layak atau yang bisa diandalkan untuk bersaing di kancah Internasional mengingat Indonesia belum memiliki industri andalan dan belum memiliki kekuatan yang signifikan untuk pasar domestik. Reformasi mikroekonomi di sektor riil sendiri tidak pernah dilakukan, dan tanpa adanya restrukturisasi di sektor mikro, pertumbuhan makro ekonomi tidak akan terjadi dan data pengangguran terus akan melonjak walupun kononnya terjadi "pertumbuhan" ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor ekonomi. Pelaksanaan industrialisasi secara random tanpa adanya kajian menyeluruh demi mencapai kesejahteraan bersama telah membahayakan negeri ini.


Di sisi lain, sebagai negara agraris, arah pembangunan seharusnya dipusatkan pada pemberdayaan dan pemandirian masyarakat petani, dan bukan sebaliknya, malah mengesampingkan sektor riil dan kesejahteraan masyarakat petani. Sektor riil selalu dianggap sebagai sektor yang tidak mungkin maju tanpa digalakkannya industrialisasi pada sektor tersebut. Padahal telah disadari bahwa industrialisasi hanya akan menghasilkan jutaan buruh tani berubah "nasib" menjadi buruh industri. SBY sendiri pernah melontarkan gagasan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang di sebut-sebut salah satu dari "Triple Track Strategy" Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009, dan mengharuskan pemerintah menggenjot laju berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Disamping itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada tahun 2009; dan rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 % per tahun. Namun ironisnya, program tersebut berhenti pada jargon dan hampir tidak ada implementasi mendasar dan tidak hanya itu seluruh lapisan masyarakat pun menjadi korban dari gagasan Revitalisasi. Bukannya memperbaiki ekonomi domestik melainkan mengeskplotasi sektor riil melalui industrialisasi yang mematahkan kemandirian masyarakat petani. Apa buktinya? Harga beras yang membumbung tinggi, impor beras naik drastis. Akibat lanjutan tentu saja tidak ada upaya perbaikan nasib petani yang menyokong program-program pro-petani. Bahkan pembukaan kran impor makin deras. Terlihat sekali kepentingan pedagang jauh lebih kuat daripada memberdayakan petani yang dari dulu tidak pernah terang nasibnya.


Mungkin ada benarnya jika kita mengklasifikasikan diri sebagai negara kaum buruh, karena kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat petani, tidak pernah bergerak secara vertikal melainkan bergeser secara horizontal dimana rakyat hanya menerima nasib sebagai buruh, sehingga ketika kita berbicara mengenai posisi rakyat Indonesia di antara kebijakan ekonomi dan moneter yang dicanangkan pemerintah, rakyat kita tidak memiliki satu posisi tawar apapun karena pemerintah selama ini hanya mengandalkan comparative benefits yang bergantung pada upah muruh yang sangat murah dan eksploitasi sumber daya alam melalui rancangan program-program revitalis (baca: industrialisasi).


Meskipun di tingkat internasional ada seruan untuk mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan dengan batas waktu tahun 2015, atau sering dikatakan MDGs (Millennium Development Goals), juga tidak berpengaruh banyak mengubah paradigma pemerintah untuk pro terhadap nasib petani, yang secara mayoritas menempati urutan teratas matapencaharian rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan tidak ada program yang diimplementasikan secara nyata, dan tidak berhenti pada jargon politik semata dan untuk memperkuat citra rezim.


Disamping itu lahirnya UU Penanaman Modal (UU PM) beberapa waktu lalu, yang menuai badai protes dari masyarakat dan membuat situasi ekonomi sektor riil semakin terpuruk. UU PM ini menggantikan UU Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri (UU PMA No 1 Tahun 1967dan UU PMDN No 6 Tahun 1968) yang telah berlaku selama 30 tahun. UU PM makin menggenapkan dugaan bahwa pada hakikatnya pemerintah tidak pernah pro-rakyat dan lebih memihak pada kepentingan investor. Seolah-olah lahirnya UU ini juga membuka tabir "neoliberal malu-malu". UU PM yang mempercepat laju swastanisasi dan menjembatani kepentingan para neo-liberalist ini juga tidak pernah dikaji ulang oleh pemerintah. Sudah terang pula, bahwa secara langsung telah terjadi penghianatan terhadap pasal 33 dimana seharusnya pemerintah melindungi kepentingan seluruh masyrakat Indonesia dan sumberdaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Akan sangat sulit untuk mengontrol Penanaman Modal terutama Foreign Direct Investment jika kita tidak melakukan usaha yang melindungi sektor-sektor riil. Posisi Pemerintah Indonesia yang mendukung liberalisasi perdagangan di level internasional, secara langsung telah mendukung agenda badan-badan keuangan swasta Internasional untuk mendongkrak swastanisasi perusahaan-perusahaan milik negara dan investasi swasta asing.


Pergantian personel menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) baru berlangsung satu minggu lalu. Tidak ada yang menonjol dari figur-figur yang masuk dalam jajaran kabinet. Sepertinya, nuansa kompromi politik dan penguatan dukungan menuju 2009 bagi rezim berkuasa lebih kuat daripada tujuan untuk memperbaiki nasib rakyat yang tidak kunjung membaik pasca krisis ekonomi yang sudah berlangsung hampir 1 dasawarsa. Program-program yang menyentuh ekonomi kecil juga nampak tumpul dari kreasi-kreasi menteri yang ada, baik tatkala reshuffle jilid pertama maupun kedua ini. Mereka lebih terpaku pada indikator makro yang sebetulnya lebih mirip seperti mitos dalam perbaikan nasib rakyat secara nyata. Terbukanya cadar karakter ekonomi rezim SBY-JK ini menyatakan bahwa Pemerintah dengan bulat-bulat dan suka rela menyerahkan nasib rakyat pada kepentingan asing. Selayaknya Pemerintah sudah bisa memulai upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang pro rakyat, dan untuk itulah diperlukan perubahan sikap dan strategi pada sektor mikro serta pembenahan sektor ekonomi domestik serta kebijakannya dan tidak mengeskpos diri terhadap ekonomi neo-liberalisasi melalui swastanisasi sektor-sektor utama milik negara yang merusak ekonomi baik di level makro maupun mikro. Oleh karena itulah, pantas kalau kita harus meratapi nasib Indonesia.

(Wawan Fahrudin, dan C.Naida, Peneliti Pathways Institute)

Friday, August 26, 2005

Menilik "Wajah" Pemerintahan SBY-Kalla dalam Privatisasi BUMN

60 tahun Indonesia merdeka menimbulkan tanda tanya besar akan pencapaian-pencapaian sebagai sebuah bangsa berdaulat. Berdaulat merupakan kata kunci yang menunjukkan eksistensi negara sebagai satu entitas politik. Wajar kiranya bilamana kita mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan bangsa bermatabat dan berdaulat. Dan privatisasi BUMN yang marak dilakukan, tidak hanya pada saat pemerintah SBY-Kalla, namun juga Megawati sebelumnya telah meragukan kita semua bahwa Indonesia masih memiliki kedaulatan.


Duet kepemimpinan SBY-Kalla menaburkan optimisme, tatkala berhasil memenangkan pemilu tahun 2004. Bukan tanpa dasar memang, karena naiknya SBY-Kalla hasil dari pemilu langsung yang pertama kali di Indonesia. Harapan-harapan masyarakat pun membuncah, dengan menyandarkan kepada pundak keduanya untuk membawa Indonesia keluar dari krisis multidimensi. Dan publik mulai berpihak tatkala kedua pasangan ini melakukan gebrakan dengan menjerat pelaku-pelaku korupsi, yang dimulai dari kasus penyelewengan dana pemilu oleh para anggota KPU.


Bagaimana menilik karakter pemerintahan SBY-Kalla dari sudut pandang pro-rakyat atau tidak menjadi persoalan lain yang patut dicermati dan patut menimbulkan pesimisme. Logika-logika neoliberal sangat kental dalam pemerintahan SBY-Kalla. Bahkan sinyalemen Baswir 1 yang dari awal optimis menilik desertasi SBY, makin pupus tatkala SBY menempatkan figur-figur yang memiliki karakter neoliberal. Benar kiranya, setelah berjalan selama satu tahun, banyak kebijakan yang berpihak terhadap pelaku bisnis dan menjadi karakter utama wajah pemerintah SBY-Kalla. Publik pun akhirnya mafhrum, karena personal yang duduk dalam pemerintahan SBY merupakan orang-orang yang terdidik dengan logika-logika neoliberal untuk mengentaskan berbagai persoalan ekonomi. Sebut saja misalnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, yang makin merapatkan posisi Indonesia dalam pusaran globalisasi neoliberal. Berbagai agreement internasional ditetapkan dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen kita di WTO (AoA- Agreeement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum kita mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani kita dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan kebijakan retrukturisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja.


Lolosnya UU Sumberdaya Air juga dapat dicermati dari alur pemikiran neoliberal. Ditolaknya UU Sumberdaya air oleh MK (Mahkamah Konstitusi) menjadi cermin untuk memuluskan jalan bagi investor asing untuk menanamkan modal di sektor strategis yang seharusnya dilindungi negara. Tidak berbeda dengan Menteri Koordinator Ekonomi, yang dikomandani oleh Aburizal Bakri, yang sebelum menjadi menteri merupakan konglomerat bisnis di Indonesia. Kepentingan oligarkhi bisnis akhirnya menjadi prioritas kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu. Sosok Jusuf Kalla yang memegang posisi sentral yang mengendalikan kemudi kekuasaan juga makin melengkapi karakter-karakter kebijakan elitis yang dibangun oleh rezim SBY. Seluruh lobi-lobi di lembaga keuangan internasional juga dilakukan Sri Mulyani, mantan pejabat IMF yang juga memegang jabatan ketua Bappenas, yang kita ketahui bersama merupakan badan yang menyusun langkah-langkah strategis pembangunan nasional. Ibarat masakan, bumbu neoliberal sudah lengkap diracik oleh pemerintah SBY, dan disajikan ke seluruh rakyat Indonesia sekarang ini.


Implikasi yang kemudian ditanggung oleh rakyat Indonesia dapat dirasakan sekarang. Privatisasi menjadi kata kunci untuk menjalankan ideologi neoliberal. Hal ini disebabkan aktor-aktor yang berperan penting dalam idelogi tersebut adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Asumsi yang digunakan adalah pasar akan menemukan mekanisme keseimbangan (balancing of market) tanpa/ tidak melalui intervensi pemerintah. Jadi sudah jelas bahwa logika efisiensi akan dijadikan alat untuk mengharamkan campur negara. Padahal pasar tidak pernah sempurna dan pasti akan menimbulkan the winner and the looser, maka negara seharusnya menjadi buffering untuk senantiasa melindungi the looser. Karakter keberpihakan kepada rakyat tidak tercermin dari pemerintahan SBY sekarang ini.


Para aktivis dan kalangan civil society menilai bahwa neoliberalisme tidak lain hanya metamorphosis dari bentuk penjajahan fisik yang dilakukan negara maju menjadi hegemoni ekonomi. Bentuk-bentuk penjajahan baru/neoliberalisme dalam kebijakan-kebijakan seperti:2


1.Penghapusan Subsidi untuk rakyat (Subsidi Pendidikan, Kesehatan, BBM, Listrik, Air, dll)
2.Privatisasi BUMN & BUMD (Indosat, Mandiri, Pertamina, Telkom, PT DI, PDAM/PAM dll)
3.Komersialisasi pendidikan dan kesehatan (UU Sisdiknas dan RUU Kesehatan)
4.Liberalisasi perdagangan (WTO)
5.Liberalisasi energi dan sumber daya alam dll (UU Migas 22/2001, UU Privatisasi Air no. 7/2001, Perpres 36/2005, dll)


Konstitusi sudah mengamatkan bahwa seluruh sektor yang berkait dengan hajat orang banyak menjadi kewajiban negara untuk melakukan proteksi, namun tidak demikian halnya dalam realitas. Pola pikir neoliberal ini juga menurut kepada pilihan-lihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah SBY. Misalnya saja dalam kasus privatisasi BUMN, logika yang dgunakan adalah besarnya penerimaan pajak dari sektor tersebut. Bilamana BUMN sudah diprivatisasi, tanpa mempertimbangkan jangka panjang, pelan namun pasti kita akan menjadi bangsa paria karena seluruh sektor-sektor strategis dikuasai oleh asing. Dalam kasus privatisasi Indosat misalnya, BUMN Singapura STT membeli Indosat melalui perusahaan yang didirikan secara dadakan yakni Indonesia Communication Limited (ICL). Badan hukum ICL bukan Indonesia tapi Mauritius, yakni salah satu di antara 34 negara kecil di dunia yang menjadi surga perusahaan-perusahaan transnasional untuk menghindari pajak di negara asalnya atau negara tempat operasi perusahaan-perusahaan multinasional tersebut (offshore financial centers). Penjualan saham BUMN baik sebagian atau 100% juga akan mereduksi kekuatan kontrol pemerintah terhadap BUMN yang bersangkutan. Juga pasti akan mengurangi pendapatan pemerintah dari deviden yang selanjutnya membuat APBN kehilangan sumber penghasilan.


Mengamati berbagai skenario yang dijalankan oleh pemerintahan SBY-Kalla makin meyakinkan kita semua bahwa ujung pencapaian sebagai sebuah bangsa yaitu kedaulatan Indonesia sudah berada di ujung tanduk.


Penulis: Wawan Fahrudin, Peneliti dari Institute for Global Justice, dapat dihubungi di wawan@globaljust.org, www.wawanfahrudin.blogspot.com



Tanpa Kedaulatan Ekonomi, Quo Vadis MDGs

Indonesia sudah berusia genap 60 tahun. Ibarat usia manusia, perjalanan panjang sudah ditempuh untuk menguatkan entitas kebangsaan dalam bentuk kesatuan politik bernama Indonesia. Wacana tentang nasionalisme pun banyak pergeseran, disesuaikan dengan konteks kekinian. Demikian juga dengan pencapaian sebagai sebuah bangsa berdaulat. Kedaulatan merupakan kata kunci yang tidak dapat ditawar untuk menerjemahkan Indonesia dalam konteks globalisasi neoliberal. Sejauh mana kedaulatan masih disandang Indonesia menjadi pertanyaan pokok yang perlu dipikirkan dan diemban SBY-Kalla dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional Indonesia.

Tulisan ini mengupas kebijakan SBY-Kalla dalam tataran pragmatis dengan konteks globalisasi yang dikaitkan dengan komitmen internasional untuk mengurangi kemiskinan global hingga tahun 2015. Komitmen internasional yang ditecuskan oleh Sekjen PBB, Kofie Annan, mengawali milenium baru yaitu komitmen untuk mengurangi kemiskinan dunia hingga 50 persen hingga tahun 2015, atau seringkali dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Ada 8 goals yang dirumuskan yaitu: (1) menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar secara universal; (3) mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; (4) mengurangi tingkat kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (7) menjamin keberkelanjutan lingkungan; (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Globalisasi neoliberal dinisbahkan sebagai pemenang tunggal atas pertarungan ideologi. Mengutip pemikiran Revrisond Baswir, menyatakan bahwa gagasan neoliberal dapat ditarik dalam satu benang merah yang berujung pada kebebasan pasar (free trade). Jadi, bilamana membicarakan globalisasi tidak dapat dipisahkan dalam kerangka pasar bebas, yang diusung oleh negara maju, dengan menggunakan dalil demokrasi ekonomi untuk melakukan penetrasi pasar di negara berkembang. Secara rinci ada beberapa karakter dari neoliberal yaitu: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar, (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. (Revrisond Baswir:Bahaya Globalisasi).

Implementasi kebijakan nasional untuk menanggulangi kemiskinan yang tercermin dari kebijakan yang berpihak kepada rakyat menjadi ujian. Banyak tumpuan harapan masyarakat ketika SBY naik menjadi presiden sebagai hasil dari sistem pemilihan langsung. Namun publik kecewa ketika melihat formasi kabinet SBY yang banyak diisi oleh personal yang sangat dekat dengan ideologi neoliberal. Dan memang dalam perjalanannya terbukti bahwa oligarki bisnis yang memegang kekuasaan politik akhirnya lebih mewarnai kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh Kabinet Indonesia Bersatu. Kasus privatisasi Indosat mengawali dekatnya kebijakan SBY-Kalla dengan kelompok pemilik modal. Indosat sebagai bisnis strategis yang dulu dimiliki negara (BUMN) kini dikuasai oleh Singapura, dengan mengendarai perusahaan multinasional yang bernama Temasek. Belum lagi diloloskannya UU Sumberdaya Air yang sangat pro-pasar sudah melengkapi nafas kebijakan ekonomi SBY-Kalla yang berwatak neoliberal. Privatisasi-privatisasi BUMN yang lainnya bakal menyusul dan hanya menunggu waktu saja.

Fair Trade Poros Pencapaian MDGs

Perlu ditekankan bahwa pencapaian MDGs tersebut berporos pada keberhasilan goals ke-8 yaitu mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dari mengedepankan pasar bebas (free trade) menjadi fair trade (perdagangan yang adil). Tanpa ditegakkannya perdagangan yang lebih adil, semua goals tersebut hanya akan menjadi mimpi belaka. Justru kerangka multilateral (WTO) yang ada sekarang ini tidak mengadopsi kepentingan negara miskin dan berkembang, dan hanya menjadi alat negara maju untuk memperluas pasar belaka. Pada akhirnya kedaulatan kita tergadai secara harfiah. Negara tidak lagi memiliki kuasa untuk menentukan kebijakan secara mandiri. Kuatnya korporasi internasional memberi corak kental dalam kebijakan ekonomi SBY-Kalla.

Kemudian apa relevansinya dengan komitmen untuk pengurangan kemiskinan? Bilamana ditarik dari logika awalnya, ideologi neoliberal selalu berpegang bahwa mekanisme pasar akan senantiasa menemukan efisiensi, dan negara tidak boleh campur tangan atas jalannya mekanisme pasar. Bisa jadi memang logika tersebut benar dalam satu sisi, namun ada satu kutub yang tidak mampu ditangani oleh ideologi neoliberal, yaitu perlindungan bagi pihak yang kalah yang menjadi ranah negara untuk melakukan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar dan juga hajat hidup rakyat.

Data dari Human Development Report tahun 2004, banyak negara berkembang dan miskin yang masyarakatnya belum sepenuhnya bisa mendapatkan akses atas obat-obatan secara mendasar. Ambil contohnya, potret yang terjadi di beberapa negara seperti: Rwanda, Malawi, Chad, Angola, Haiti, Nepal, India dan Sudan, sekitar 50 persen masyarakatnya belum mampu mengakses obat-obatan. Pada saat yang sama tingkat prevalensi dari atas penyakit malaria, tuberkulosa tergolong tinggi. Ghana misalnya prevalensi masyarakat yang terkena malaria sebanyak 15344 per 100 ribu jiwa penduduk, Yaman sebanyak 15 160 penderita dan Guinea sebanyak 75 386 per 100 ribu penduduk. India, terdapat 344 penderita TBC dari 100 ribu penduduk; Pakistan 379 penderita; Indonesia 609 penderita.

Gambaran serupa juga terjadi pada anak-anak di dunia. Setiap tahun sekitar 11 juta anak-anak di negara berkembang dan miskin terpaksa meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa di cegah. Tapi, ketiadaan akses obat dan vaksinasi membuat jutaan nyawa hilang.

Quo Vadis MDGs

Menilik dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia, pesimisme akan muncul untuk mewujudkan pengurangan kemiskinan hingga tahun 2015. Tidak ada satu kebijakan pun yang berpihak terhadap rakyat secara keseluruhan, kecuali hanya melestarikan oligarki bisnis yang sekarang ini juga memegang kekuasaan politik. Publik pun akhirnya mafhrum, karena personal yang duduk dalam pemerintahan SBY merupakan orang-orang yang terdidik dengan logika-logika neoliberal untuk mengentaskan berbagai persoalan ekonomi. Sebut saja misalnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, yang makin merapatkan posisi Indonesia dalam pusaran globalisasi neoliberal.

Berbagai agreement internasional dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen kita di WTO (AoA- Agreeement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum kita mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani kita dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan Kebijakan Retrukturisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja belum ada strategis menyeluruh untuk mengentaskan hidup para petani dan menjaga kedaulatan pangan kita.

Sosialisasi MDGs di Indonesia yang banyak disuarakan oleh kalangan civil society juga belum mampu menerjemahkan isu tersebut dalam bahasa keseharian sehingga isu ini akrab. Pertemuan MDGs se-Asia Pasifik di Jakarta beberapa bulan lalu juga hanya mencerminkan bahwa isu sarat dengan seremoni. Sedangkan realisasi dari pencapaian pengentasan kemiskinan bak menggantang asap saja. Hingga sekarang ini belum ada satu pun kebijakan strategis untuk memberantas kemiskinan di Indonesia. Menurut pemaparan, Pos Hutabarat, di “Forum APEC dan Indonesia di Persimpangan Jalan,” menyinggung tentang MDGs, bahwa Indonesia sudah berhasil mengurangi kemiskinan dengan tingkat konsumsi per hari minimal 1 dolar AS sebagai ukuran. Dan pencapaian itu sudah terjadi dua tahun lalu. Benarkah hal itu sudah terekam dalam fakta di masyarakat? Sepertinya dengan kacamata awam, tanpa hitungan rumit pun akan mengatakan hal tersebut hanya isapan jempol. Awal tahun ini saja, pemberitaan media di warnai dengan berbagai kasus busung lapar. Belum lagi gagalnya pemerintah melayani kebutuhan atas kesehatan dasar masyarakat yang tercermin dari merebaknya kasus busung lapar. Tidak ada banyak perubahan besar dari Kabinet Indonesia Bersatu dan komitmen pengentasan kemiskinan hanya menjadi mimpi indah di siang hari.

Penulis adalah peneliti dari Institute for Global Justice, dapat dihubungi di wawan@globaljust.org, www.wawanfahrudin.blogspot.com